(Part 1)
Bbrp hari ini, Jakarta dilanda hujan deres. Nyaman banget buat tidur. Hampir tiap pagi aku terlelap hingga melebihi jam masuk kantor yang telah ditetapkan. Yah, artinya aku telat masuk kantor lagi.
Komputer mati, (just fyi: komputer mati, berarti kamarku mati. Tak ada tv, tak ada hiburan). Menambah kesendirianku di kamar kost. Kupikir, tak ada gunanya aku berdiam diri disini. Akhirnya kuputuskan untuk berangkat kantor. Toh hujan agak reda, walaupun masih ada gerimis kecil mengiringiku, dengan sisa sisa semangat yang ada (passion?).
Di tengah perjalanan, kurasakan Jakarta yang sebenar-benarnya. Jakarta yang banjir. Beberapa jalan alternatifku ke kantor dihadang banjir. Beberapa orang dengan gerobaknya menghadang menawarkan bantuan untuk menyeberang. Di jalan alternatif yang lain, beberapa orang yang berjaga menyarankan Aku untuk balik arah. ‘Banjirnya setinggi dada’ – katanya. Akhirnya aku pun balik arah. Dan melangkah tanpa arah tujuan.
Aku kehilangan arah..
(Part 2)
“Hey, jangan cengeng!” kata suara kecil yang membisiki-ku.
Yah, aku bisa saja naek gerobak pengangkut, yang artinya aku harus menyisihkan upah untuk menyeberang, begitu juga ketika aku pulang nanti malam. Aku bisa saja naik taksi lewat jalan tol, satu-satunya jalan yang kupikir bebas banjir. Atau, aku bisa saja lewat jalan lain, yang (menurutku) memutar cukup jauh.
Tapi untuk apa?
Itu mungkin yang disebut passion (heh, tema kantorku dalam rangka ulang tahunnya – 15 years of passion) atau aku ngga punya passion itu?
Aku berangkat ke kantor, demi absensi? Aku nyampe di kantor, menghabiskan waktu berjam jam untuk browsing & chatting.. atau bahkan main pac-man. Untuk itukah passion itu..?
Bahkan ketika akupun menemukan jalan untuk sampai ke kantor, di kantorpun aku kehilangan arah…